Oleh Yoseph Mbete Wangge (Koordinator Komunitas Lopo Milenial)
Beberapa hari belakangan ini jagad media sosial dihebohkan oleh persoalan diklaimnya beberapa motif kain tenun daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini diketahui saat pentas Fashion Show di Paris, Prancis. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Indonesia Fashion Chamber, yang melibatkan perwakilan siswi SMK se-Indonesia sebagai peserta, dengan balutan tenun ikat Sumba Timur, dua siswi SMK NU Banat Kudus tampil di acara tersebut. Kain bermotif kuda dengan kombinasi warna biru dan putih tersebut diklaim sebagai kain tenun Troso, Jepara.
Persoalan tersebut mengundang respon beragam oleh masyarakat NTT. Ada yang yang marah dengan cara melampiaskannya dimedia sosial lewat status dan posting-postingan. Petisi online lewat situs change.org mengenai ajakan Gugat Pemalsu Tenun Ikat disebarkan di berbagai media sosial. Diskusi-diskusi dalam group-group facebook maupun Whatsapp muncul menyoal serius masalah ini. Persoalan ini juga disespon oleh DPRD, Bupati Sumba Timur dan Ketua Tim Penggerak PKK Propinsi NTT yang sama-sama menyayang soal klaim motif tenun ini.
Riunya persoalan ini ternyata tidak dapat menggerakan seluruh lapisan masyarakat NTT untuk bersimpati dan ikut bergerak bersama menyoal klain terhadap karya seni warisan leluhur tersebut. Ada juaga yang menganggap biasa-biasa saja karena mungkin tidak menerima dampak secara langsung dari persoalan ini. Terdapat juga kelompok yang benar-benar apatis dengan persoalan ini. Bagi mereka persoalan ini tidak memberikan kontribusi bagi kehidupan mereka. Beragam tanggapan masyarakat menjadi deskripsi tersirat tentang karya seni warisan nenek moyang masyarakat NTT tersebut.
Sebelumnya memang persoalan klaim motif tenun ini belum seviral hari ini. Kain tenun NTT memang terkenal menarik bagi wisatawan domestic maupun mancanegara yang menjadikan NTT sebagai destinasi wisata. Wisatawan kerap menjadikan kain tenun NTT sebagai souvenir andalan kala berkunjung ke NTT. Menariknya kain tenun NTT ternyata dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai peluang usaha yang mengabaikan nilai-nilai kain tenun itu sendiri. Hal ini menjadi persoalan, klaim motif tenun ikat menjadi masalah yang rumit dan akar masalanya tak jelas. Semua saling mempersalahkan. DPRD mempersalahkan pemerintah daerah terkait langka kongkrit mengajukan hak paten untuk motif kain tenun daerah. Dalam persoalan ini juga pemerintah daerah Sumba Timur, Bupati Gideon Mbilijora dalam pernyataan menyoalkan lambannya proses hak cipta pada motif-motif kain tenun daerah oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Tentang persoalan klaim motif tenun daerah NTT tersebut, kain tenun Sumba Timur tersebut memang tidak memiliki dasar perlindungan hukum karena motif kain tersebut belum terdaftar sebagai kekayaan intelektual. Hal tersebut menyulitkan untuk melakukan langka hokum bagi pelaku plagiasi terhadap kain tenun NTT.
Lalu bagaimana seharusnya merespon persoalan ini? Kain tenun merupakan karya cerminan kekayaan budaya, pariwisata dan jejak peradaban warisan nenek moyang yang wajib dijaga dan dilestarikan. Kain tenun adalah selembar wastra yang ditenun dengan penuh penghayatan harunya menjadi warisan penting yang tak ternilai harganya. Proses pembuatan kain tenun tradisional menguras waktu dan tenagah. Oleh karena tingkat kerumitan pembuatan kain tenun tradisional. Sehingga, persoalan klaim motif tenun menjadi persoalan sensitif bagi masyarakat NTT.
Diklaimnya Motif kain Tenun harus menjadi otokritik bagi masyarakat NTT. Sudah sejauh mana masyarakat NTT berperan dalam upaya menjaga kelestarian budaya. Proses penciptaan karya luar biasa tersebut tidak dibarengi dengan apresia yang tinggi bagi creator dan karyanya oleh masyarakat NTT. Hari ini, proses terciptannya kain tenun bahkan disejajarkan dengan proses terciptannya kain-kain levis oleh mesin. Hal ini dapat dilihat dari posisi harga yang cenderung sama dipasaran, sekalipun dibeberapa tempat ada nilai yang lebih tinggi bagi karya seni warisan nenek moyang.
Harga yang hampir sejajar dengan kain tenunan mesin tersebut bahkan ditekan lewat penawaran yang dilakukan oleh pembeli, terutama dari kalangan masyarakat NTT sendiri. Bahkan harga kain hampir sejajar dengan dengan biaya produksi. Minimnya apresiasi menyebabkan hari ini banyak penenun yang memilih untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain yang lebih muda dan tinggi penghasilannya. Tidak perlu ditutupi bahwa hari ini penenun-penenun tradisional semakin minim jumlanya. Penenun tak lagi menjadi cita-cita gadis desa. Menjadi penenun bahkan dalam midset masyarakat adal cita-cita kuno yang hanya ada dalam cerita wanita masa lalu.
Harapan besar pada hadirnya Ketua Dewan Kerajina Nasional Daerah NTT yang juga adalah Ketua Penggerak PKK Propinsi NTT, Julie Laiskodat yang konsisten mengembalikan kekayaan tenun NTT lewat pembinaan terhadap kelompo-kelompok penenun. Julie yang mengaku sangat mencintai tenun NTT, dalam beberapa pernyataannya mengungkapkan potensi yang sangat besar dari tenunan daerah NTT. Tenunan NTT juga dianggap sebagai karya yang tak akan lekang dimakan waktu. Berbekal pengetahuannya dari mempelajari tenun NTT beserta filosofisnya. Diharapkan akan ada upaya Julie Laiskodat untuk memasyarakatkan kembali tenun NTT dan filosofisnya sehingga lahir paradigma baru dalam masyarakat NTT.
Disisi Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Daera-daerah NTT memang telah melakukan langka pencegahan dan perlindungan terhadap penenun lewat bantuan danah, pelatihan, pemasaran maupun kebijakan-kebijakan yang melindungi pengrajin dan kelestarian budaya tenun. Namun berbagai hal yang telah dilakukan tidak di kawal dengan baik oleh pemerintah misalnya dalam kebijakan-kebijakan dalam lingkup pemerintahan seperti penggunaan pakaian motif daerah yang tidak terkawal dengan baik.
Banyak pegawai mengenakan motif buatan pabrik yang tidak diprodusi lewat proses dengan nilai budaya yang tinggi. Harga menjadi alasan utama dalam hijrannya peminat tenun tradisional menujuh tenunan industri. Hingga akhirnya menyebabkan banyak tenun tradisional yang tidak mampu bersaing dengan tenunan produk-produk industri. Upaya menjaga kelestarian Tenunan NTT secara masif harus dilakukan dalam setiap lapisan masyarakat dengan mengantisipasi maupun merubah mindset masyarakat tentang menenun yang melahirkan karya tenunan simbol yang mendeskripsikan sejarah.
Persoalan tersebut mengundang respon beragam oleh masyarakat NTT. Ada yang yang marah dengan cara melampiaskannya dimedia sosial lewat status dan posting-postingan. Petisi online lewat situs change.org mengenai ajakan Gugat Pemalsu Tenun Ikat disebarkan di berbagai media sosial. Diskusi-diskusi dalam group-group facebook maupun Whatsapp muncul menyoal serius masalah ini. Persoalan ini juga disespon oleh DPRD, Bupati Sumba Timur dan Ketua Tim Penggerak PKK Propinsi NTT yang sama-sama menyayang soal klaim motif tenun ini.
Riunya persoalan ini ternyata tidak dapat menggerakan seluruh lapisan masyarakat NTT untuk bersimpati dan ikut bergerak bersama menyoal klain terhadap karya seni warisan leluhur tersebut. Ada juaga yang menganggap biasa-biasa saja karena mungkin tidak menerima dampak secara langsung dari persoalan ini. Terdapat juga kelompok yang benar-benar apatis dengan persoalan ini. Bagi mereka persoalan ini tidak memberikan kontribusi bagi kehidupan mereka. Beragam tanggapan masyarakat menjadi deskripsi tersirat tentang karya seni warisan nenek moyang masyarakat NTT tersebut.
Sebelumnya memang persoalan klaim motif tenun ini belum seviral hari ini. Kain tenun NTT memang terkenal menarik bagi wisatawan domestic maupun mancanegara yang menjadikan NTT sebagai destinasi wisata. Wisatawan kerap menjadikan kain tenun NTT sebagai souvenir andalan kala berkunjung ke NTT. Menariknya kain tenun NTT ternyata dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai peluang usaha yang mengabaikan nilai-nilai kain tenun itu sendiri. Hal ini menjadi persoalan, klaim motif tenun ikat menjadi masalah yang rumit dan akar masalanya tak jelas. Semua saling mempersalahkan. DPRD mempersalahkan pemerintah daerah terkait langka kongkrit mengajukan hak paten untuk motif kain tenun daerah. Dalam persoalan ini juga pemerintah daerah Sumba Timur, Bupati Gideon Mbilijora dalam pernyataan menyoalkan lambannya proses hak cipta pada motif-motif kain tenun daerah oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Tentang persoalan klaim motif tenun daerah NTT tersebut, kain tenun Sumba Timur tersebut memang tidak memiliki dasar perlindungan hukum karena motif kain tersebut belum terdaftar sebagai kekayaan intelektual. Hal tersebut menyulitkan untuk melakukan langka hokum bagi pelaku plagiasi terhadap kain tenun NTT.
Lalu bagaimana seharusnya merespon persoalan ini? Kain tenun merupakan karya cerminan kekayaan budaya, pariwisata dan jejak peradaban warisan nenek moyang yang wajib dijaga dan dilestarikan. Kain tenun adalah selembar wastra yang ditenun dengan penuh penghayatan harunya menjadi warisan penting yang tak ternilai harganya. Proses pembuatan kain tenun tradisional menguras waktu dan tenagah. Oleh karena tingkat kerumitan pembuatan kain tenun tradisional. Sehingga, persoalan klaim motif tenun menjadi persoalan sensitif bagi masyarakat NTT.
Diklaimnya Motif kain Tenun harus menjadi otokritik bagi masyarakat NTT. Sudah sejauh mana masyarakat NTT berperan dalam upaya menjaga kelestarian budaya. Proses penciptaan karya luar biasa tersebut tidak dibarengi dengan apresia yang tinggi bagi creator dan karyanya oleh masyarakat NTT. Hari ini, proses terciptannya kain tenun bahkan disejajarkan dengan proses terciptannya kain-kain levis oleh mesin. Hal ini dapat dilihat dari posisi harga yang cenderung sama dipasaran, sekalipun dibeberapa tempat ada nilai yang lebih tinggi bagi karya seni warisan nenek moyang.
Harga yang hampir sejajar dengan kain tenunan mesin tersebut bahkan ditekan lewat penawaran yang dilakukan oleh pembeli, terutama dari kalangan masyarakat NTT sendiri. Bahkan harga kain hampir sejajar dengan dengan biaya produksi. Minimnya apresiasi menyebabkan hari ini banyak penenun yang memilih untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain yang lebih muda dan tinggi penghasilannya. Tidak perlu ditutupi bahwa hari ini penenun-penenun tradisional semakin minim jumlanya. Penenun tak lagi menjadi cita-cita gadis desa. Menjadi penenun bahkan dalam midset masyarakat adal cita-cita kuno yang hanya ada dalam cerita wanita masa lalu.
Harapan besar pada hadirnya Ketua Dewan Kerajina Nasional Daerah NTT yang juga adalah Ketua Penggerak PKK Propinsi NTT, Julie Laiskodat yang konsisten mengembalikan kekayaan tenun NTT lewat pembinaan terhadap kelompo-kelompok penenun. Julie yang mengaku sangat mencintai tenun NTT, dalam beberapa pernyataannya mengungkapkan potensi yang sangat besar dari tenunan daerah NTT. Tenunan NTT juga dianggap sebagai karya yang tak akan lekang dimakan waktu. Berbekal pengetahuannya dari mempelajari tenun NTT beserta filosofisnya. Diharapkan akan ada upaya Julie Laiskodat untuk memasyarakatkan kembali tenun NTT dan filosofisnya sehingga lahir paradigma baru dalam masyarakat NTT.
Disisi Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Daera-daerah NTT memang telah melakukan langka pencegahan dan perlindungan terhadap penenun lewat bantuan danah, pelatihan, pemasaran maupun kebijakan-kebijakan yang melindungi pengrajin dan kelestarian budaya tenun. Namun berbagai hal yang telah dilakukan tidak di kawal dengan baik oleh pemerintah misalnya dalam kebijakan-kebijakan dalam lingkup pemerintahan seperti penggunaan pakaian motif daerah yang tidak terkawal dengan baik.
Banyak pegawai mengenakan motif buatan pabrik yang tidak diprodusi lewat proses dengan nilai budaya yang tinggi. Harga menjadi alasan utama dalam hijrannya peminat tenun tradisional menujuh tenunan industri. Hingga akhirnya menyebabkan banyak tenun tradisional yang tidak mampu bersaing dengan tenunan produk-produk industri. Upaya menjaga kelestarian Tenunan NTT secara masif harus dilakukan dalam setiap lapisan masyarakat dengan mengantisipasi maupun merubah mindset masyarakat tentang menenun yang melahirkan karya tenunan simbol yang mendeskripsikan sejarah.

Luar biasa
BalasHapusMANTAP
BalasHapusLuar biasa kka
BalasHapusMantap kk
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusLuar biasa kk
BalasHapusLuar biasa kak, sebagai referensi untuk membangkitkan semangat kaum muda dalam melestarikan dan mempertahankan buadaya NTT
BalasHapusmakasih Dewi
Hapus